Selasa, 26 Mei 2009

Sultan Butuni, Pemimpin Orang Buton


Selama ini, Pulau Buton lebih dikenal sebagai pulau penghasil aspal. Padahal di luar hasil bumi itu, pulau ini memiliki “harta karun” nan dasyat. Yakni, jejak arkeologis berupa benteng-benteng yang nyaris mengepung seluruh pulau dan sejarah panjang Kesultanan Butuni.
Pulau Buton adalah pulau benteng. Karena, bangunan yang menjadi basis pertahanan militer tersebut tersebar di banyak tempat. Sehingga, pulau tersebut kerap disebut sebagai “Negeri Seribu Benteng” atau “castle in town”. Karena, kota-kota penting di pulau itu hampir dikelilingi benteng-benteng – mirip konsep tata ruang negeri Jerman yang dikelilingi benteng-benteng. Namun, dunia pariwisata kerap “memaksa” wisatawan yang berkunjung ke daerah itu hanya mengenal Benteng Keraton Wolio. Ini bisa dimaklumi, karena benteng itu merupakan simbol kejayaan Kesultanan Butuni, sekaligus sebagai satu-satunya bukti sejarah yang masih terawat.
Benteng Keraton Wolio dibangun sejak masa pemerintahan Sultan Buton ke-3 La Sangaji pada abad ke-15. Dan, bangunan itu benar-benar rampung pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-6 La Buke pada 1634. Keunikan bangunannya; bila dilihat dari atas, dengan bangunan sebelas selatan sebagai kepalanya, maka akan memnentuk huruf “dal” – huruf ke delapan pada alfabet bahasa Arab atau huruf terakhir nama Baginda Rasulallah Muhammad saw. Pintu benteng (lawa) berjumlah 12, yang bermakna jumlah lubang pada tubuh manusia. Atau, bisa juga bermakna 12 lokasi yang dipilih oleh Tuhan, untuk mendapatkan tanah pembentuk Nabi Adam As. Bastion (kubu pengawas) berjumlah 16. Tapi, sumber lain menyebutkan 17 – jumlah rakaat dalam shalat selama sehari. Angka-angka itu tidak muncul secara kebetulan. Tapi, perancang pembangunan benteng memang menyiapkannya secara khusus, untuk memberikan gambaran adanya nilai tasawuf dalam pemerintahan Kesultanan Butuni. Sekaligus monumen bagi rakyatnya, untuk terus memahami dan mengamalkan akhlak mulia yangbersandarkan ajaran Ilmu Tasawuf tersebut.
Dulu, Benteng Keraton Wolio menjadi pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, sosial, dan syiar Islam. Selain itu, bagian dalam benteng juga menjadi lokasi pemukiman. Hal itu memungkinkan, karena benteng memiliki lahan yang luas, yakni sekitar 400.000 m² dan dikelilingi benteng sepanjang 2740 m. Tinggi temboknya 2-8 m dan lebar 1-2 m.
Pulau Buton di masa silam adalah Kerajaan Hindu dengan I Wa Kaa Kaa sebagai raja pertamanya. Saat itu, nama Pulau Buton telah diperhitungkan dan tercatat dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, Kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca menuliskan keberadaan Pulau Buton. Kerajaan Buton berubah menjadi Kesultanan Butuni, setelah Raja Buton ke-6 Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo menjadi muslim dan berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul. Pengisalaman ini merupakan buah kehadiran Ahli Ilmu Tasawuf asal Negeri Gujarat Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani di Pulau Buton.
Wajah Islam di lingkungan kesultanan makin berbinar, setelah sang syekh pun menanamkan ajaran tasawuf pada sultan dan keluarganya. Sehingga, pemahaman mereka akan Islam benar-benar makin kokoh. Buah terindah dari bibit ajaran soal penyucian akhlak oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin adalah diterbitkannya UUD Martabat Tujuh sebagai undang-undang tertinggi di negeri itu. Perancang UUD tersebut adalah Sultan Butuni ke-6 Dayanu Ikhsanuddin.
Kekayaan ajaran tasawuf di setiap sendi kehidupan Kesultanan Butuni juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan seorang warga Benteng Keraton Mulia, Muzaji Mulki. Seluruh manuskrip bertuliskan huruf Arab namun isinya menggunakan Bahasa Arab, Wolio, dan Melayu. Bahasa Melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid lama bermukim di Johor, Malaysia. Bahkan, penyebar Islam atau guru-guru yang berdatangan ke pulau tersebut setelah Syekh Abdul Wahid umumnya berasal dari Negeri Jiran.
Namun, yang harus dicatat dengan tinta emas adalah kehadiran UUD Martabat Tujuh. Karena, hal itu sama artinya, Kesultanan Butuni telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada di wilayah syariat – seperti yang saat ini ramai diterapkan di berbagai daerah di tanah air. Namun, mereka justru telah berada di wilayah tarekat! Dengan UUD Martabat Tujuh, Kesultanan Butuni membangun tata kehidupan yang demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia merupakan orang yang dipilih oleh Anggota Dewan (patalimbona) karena kemampuan dan akhlaknya. Karena persoalan akhlak, seorang sultan bisa dilengserkan bila kedapatan melakukan pelanggaran.
Selain itu, tata cara pengaturan pemerintahan, pengambilan keputusan, dan hubungan sosial antarwarga atau dengan negeri lain, semuanya atas dasar akhlak mulia. Bukan untuk menimbulkan masalah. Tapi, memang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan seluruh rakyat. Sehingga, sang sultan bertanggungjawab penuh atas situasi lahir-batin seluruhya warganya. Ia juga sadar bahwa kelak Allah swt akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Pimpinan atau pejabat apa pun di masa itu biasanya akan melakukan sujud syukur ketika tugasnya berakhir. Jadi, bukan ketika ia terpilih atau diangkat. Hal ini merupakan cermin, tugas atau jabatan adalah amanah, hingga harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab. Setelah selesai dan dianggap berhasil, maka merasa perlu untuk berterima kasih kepadaNya. Karena, sesungguhnya ia hanyalah kepanjangan dari tangan-tangan Yang Maharaja.
Cerita tentang tasawuf itu sendiri hingga kini masih menjadi kebanggaan warga Pulau Buton. Tapi, jangan tanya soal kelompok tarekat di tempat itu. Karena, mereka umumnya masih tertutup dan menganggapnya sebagai hal yang rahasia. Hanya orang-orang tertentu yang berhak tahu dan bisa menjadi bagian dari komunitasnya. Kenyataan ini bertolak belakang dengan situasi di Jawa, Sulawesi Selatan, atau Sulawesi Barat, yang masih memberikan “ruang” bagi orang awam, untuk mengetahui keberadaan sebuah kelompok tarekat.
Inspirasi yang berhembus dari Pulau Buton adalah betapa indahnya taman surga yang dikelola dengan nuansa Islam yang sebenar-benarnya Islam. Islam yang menghadirkan kedamaian dan ketentraman bagi siapa pun. Utamanya, Islam yang dikembangkan itu berpijak pada martabat syariat, tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Karena, Kesultanan Butuni senantiasa dipimpin oleh Sultan yang memahami dan mengamalkan Ilmu Tasawuf secara mendalam. Sehingga, kebutuhan sang Sultan bukan lagi untuk diri pribadi. Tapi, lebih kepada Diri Pribadi. Semuanya hanya untuk Yang Maharaja. Maka, kemuliaan pulalah yang diraih oleh negeri dan rakyatnya. Subhanallah.
Bila diamati lebih dalam, para Sultan Butuni jelas merupakan gambaran pribadi-pribadi yang senantiasa berserah diri kepada yang Mahasuci. Dengan demikian, mereka pun telah melewati tahapan-tahapan perjalanan batiniah yang panjang. Dengan pribadi yang senantiasa berserah diri, maka jelas mereka pun senantian bersabar, bersyukur, bertawakal, dan berzuhud. Serta, istiqomah menjaga bangunan hatinya. Maka sangatlah wajar, bila produk-produk yang dihasilkan oleh para sultan adalah senantiasa menebarkan kemuliaan bagi warga Pulau Buton. Bahkan, mereka pun benar-benar bertanggungjawab atas apa-apa yang diterima oleh rakyatnya secara lahiriah atau batiniah. Sehingga, Pulau Buton laksana taman surga bagi para penghuninya. Serta, membuat sultan dan rakyatnya terus saja istiqomah berserah diri kepada Yang Maharaja.
Di tempat saat ini kita berdiri dan mengais nafkah, adakah pemimpin nan kharismatik laksana para Sultan Butuni? Atau, paling tidak ia memiliki pola leadership laksana punggawa perahu sandeq? Bila tidak, lalu bagaimana kita menyikapinya?
Belajarlah kepada sikap Imam Ali bin Abi Thalib kw, ketika beliau dihadapkan pada masalah yang sama. Jawab beliau, “Itulah saudara-saudara kita yang berbeda paham dengan kita.”
Sekadar berbeda paham. Sederhana alasannya. Sehingga, kita tidak perlu berpikir terlalu jauh, untuk menuduhnya sebagai musuh. Bahkan, jangan lagi menyebutnya sebagai kaum kafir atau munafik. Biarlah hanya Allah Swt yang mengatur sebutan atau julukan-julukan buat mereka. Namun, sebagai manusia yang paham akan adab dan etika pergaulan, kita harus menjalankan hukum pergaulan yang lebih sehat dan berakhlak mulia. Bersikap seperti biasa dan memandang atasan dan kaumnya sebagai saudara-saudara kita juga.
Dalam bahasa politik, “tidak ada pertemanan yang abadi”. Karena itu, berhati-hatilah dalam melangkah dan berhati-hatilah saat bersikap terhadap orang lain. Sekarang teman atau sahabat, esok belum tentu. Sekarang musuh atau lawan, esok juga belum tentu. Waktu sering mengarahkan pada perubahan-perubahan. Bahkan, Rasulallah saw sudah memprediksi dan mewarningnya jauh-jauh hari, untuk selalu bijak dalam membuat keputusan. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk menyelamatkan umatnya dari keterasingan dan kesalahan dalam bergaul.
Bila hal itu masih mengganjal, cobalah bertanya kepada diri kita sendiri dan menjawabnya secara jujur. Jadikan pertanyaan-pertanyaan ini sebagai bahan introspeksi, agar tidak melulu berpikir tentang sikap atau karakter atasan atau pemimpin kita. Sebaliknya, kita mencoba mengawalinya dari diri kita sendiri.
Apa yang sebenarnya sedang kita cari?
Kalau arah pertanyaan itu tentang jabatan, kedudukan, posisi, atau keinginan mendapatkan fasilitas duniawi, maka alangkah hinanya diri ini. Karena, itu sama artinya dengan memberhalakan dan memuliakan masalah-masalah duniawi. Jabatan atau posisi memang berdampak pada income atau gaji. Termasuk, fasilitas-fasilitas perusahaan. Selain itu, juga akan berdampak pada penghormatan atau aktualisasi diri di tengah masyarakat. Begitu menggiurkan, memang.
Siapa yang tidak ingin kaya? Siapa yang tidak ingin memiliki banyak harta-benda? Siapa yang tidak ingin dihargai? Siapa yang tidak ingin dimuliakan? Pasti semua orang, karyawan di kantor mana pun, memang berkeinginan dan berlomba-lomba memburunya. Tapi, apa hal-hal seperti itu yang menjadi tujuan hidup?
Padahal tanpa itu semua, Allah pun tetap memberikan tempat untuk orang-orang yang mau dekat denganNya. Orang-orang yang taqwa. Banyak contoh tentang orang-orang yang kaya-raya, memiliki jabatan dan posisi terhormat, dan dielu-elukan orang di mana pun, tapi hatinya merana. Hatinya tersiksa. Hatinya justru dipenjarakan oleh keduniawiannya sendiri.
Karena itu, pendapat untuk mengedepankan jabatan, posisi, fasilitas, harta, atau kehormatan, tanpa mengindahkan pemberian yang sesuai porsi dari Nya, jelas keliru. Karena, khawatir, jabatan, harta, dan kehormatan itulah, yang akan membawa kita lari dari Allah. Sungguh malu rasanya, ketika kita ditantang untuk menjawab pertanyaan tentang tujuan hidup, namun sesungguhnya kita termasuk orang yang mendewakan jabatan, harta, dan kehormatan. Naudzubillah.
Tidak cukupkah apa-apa yang telah kita dapat selama ini?
Bagaimana pula menjawab pertanyaan ini, bila kita tidak pernah merasa cukup dengan apa-apa yang kita dapat selama ini. Sungguh, kita termasuk orang yang tidak bisa berterima-kasih. Kita tergolong orang-orang yang tidak bisa bersyukur. Padahal, Allah telah melimpahkan segala-galanya untuk hidup kita. Cobalah menoleh sedikit saja ke samping kanan atau kiri. Bahkan, ke bawah. Perhatikanlah, adakah mereka yang hidup tidak seberuntung kita?
Jawabannya, pasti sangat banyak! Sangat banyak dibandingkan harga burger yang kita beli di foodcourt. Artinya, sesungguhnya kita sudah hidup berlebih. Lebih di atas rata-rata. Jadi, saatnyalah bersyukur dan berterima-kasih.
Tidakkah kita inginkan kemuliaan di alam baqa?
Inilah pertanyaan terberat, yang sulit untuk dijawab.
Ingat kembali cerita raja mukmin dan raja kafir. Ya, meraih kemuliaan seperti sang raja mukmin. Hidup secara sederhana dan apa adanya, serta berbuat banyak kebajikan untuk memanjakanNya, namun memperoleh tempat terhormat di alam abadi nanti. Artinya, keinginan untuk mengiyakan pertanyaan ini sama artinya, dengan terus mengakui adaNya dan kuasaNya. Yakinlah, Allah itu ada dan mengawasi setiap gerak kita. Allah juga begitu berkuasa untuk mengatur segalanya. Terutama, kehidupan makhluk-makhluk ciptaanNya. Karena itu, tidak alasan untuk lepas dari keyakinan tentang adaNya. Inilah pelajaran tauhid pertama yang perlu dirasakan kebenarannya.
Bila adaNya telah kita dapati, maka saatnyalah menjejaki keyakinan tentang kuasaNya. Sesungguhnya, perjalanan hidup manusia dan segala geraknya adalah atas kuasaNya. Perusahaan hanyalah syariat. Boss atau atasan pun syariat, untuk meyakini adaNya dan kuasaNya. Karena itu, kita harus makin meyakini adaNya. Kita juga harus merasakan kuasaNya. Teruslah mendekatkan diri dengan shalat dan zikir agar adaNya memang terasa. Sehingga, kita tak lagi ragu akan kebenaran dan keagungan kalimat sang kekasih Allah. Bila keraguan itu tak ada lagi, bila keyakinan itu makin menebal, saatnya jugalah kita menikmati kuasaNya. Bukan lagi sebatas obyek, yang terus disuapi nikmat dan hidayahNya. Tapi, jadilah kepanjangan tanganNya. Dengan berbuat kebajikan di segala kehidupan.
Istighfar dan teruslah istighfar. Bertanya lagi pada diri kita tentang tujuan hidup. Akankah jabatan, posisi, dan fasilitas perusahaan, menjadi sasaran kita? Sungguh sayang seribu sayang, bila pada akhirnya akar masalah dan jawabannya hanyalah soal materi. Ya, persoalan duniawi. Saatnyalah meyakini prinsif kita sendiri. Jangan takut dimusuhi atau tidak memiliki teman. Tentukan posisi, di mana kita akan berdiri? Kita akan menjadi kaum apa? Tentukan pilihan dan rasakan resikonya. Karena, kita harus selalu kan sadar, setiap keputusan akan berbuah resiko. Saatnyalah membela kata hati kita sendiri, yang sudah kita yakini kebenarannya di lihat dari sudut mana pun.
Dengan begitu, barulah kita bisa berani memutuskan diri, untuk beristiqomah. Memulai hidup baru dengan konsep yang tercerahkan, dengan akhlak yang lebih mulia, dan dengan optimisme yang lebih besar. Tidak lagi memelihara penyakit hati. Tidak ada lagi orang-orang yang musuh atau pesaing. Tidak ada lagi orang-orang yang kita sebut kafir atau munafik.
Tidak mudah mendapati pemimpin laksana Sultan Butuni. Atau sedikitnya, seperti punggawa perahu sandeq. Mereka lahir dan berkembang di taman surga, yang memungkinkan individu-individunya memiliki pribadi-pribadi yang senantiasa bersabar, bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan berserah diri. Tapi sebagai insan yang bertekad memuliakan diri ini dan sekeliling kita, maka sudah sepantasnya, perangkat pribadi-pribadi seperti sang Sultan Butuni itu melekat juga di bangunan hati kita. Sehingga, kalaupun kita belum memiliki kesempatan menjadi pemimpin, tapi kita telah bersiap-siap dengan bekal yang memadai. Kita bisa terlihat sebagai pemimpin, meskipun saat itu posisi kita bukan sebagai pemimpin. Itulah pribadi-pribadi yang kharismatik dan berwibawa. Dengan kenyataan itu, paling tidak kita bisa lebih siap berhadapan dengan siapa pun. Temasuk, atasan kita. Tanpa merasa kecil, rendah, atau tidak berguna.
Tapi, dengan bekal kemampuan dan semangat, serta personal power yang melimpah, sudah pasti, kita hanya tengah berhitung-hitungan dengan waktu. Sejatinya, dengan kemampuan dan semangat itu sendiri, maka kita telah memperlihatkan secara nyata elemen kepatuhan kita terhadap profesi dan perusahaan (jadi bukan dengan atasan semata). Dan, itu jauh lebih mulia, dibandingkan hanya menyajikan semangat dan kepatuhan. Ada pun masalah keberuntungan, kembali berpulang kepada Yang Mahaberkehendak.
Sebagai manusia, kita hanya wajib bersyariat. Sedangkan masalah hakekat, sepenuhnya menjadi hak Allah. Keseimbangan memaknai kewajiban dan hak itulah yang menunjukkan kemuliaan kita yang sesungguhnya. Semoga saja sebagai manusia yang sempurna atau insan kamil.
Kesultanan Butuni memberikan banyak pelajaran bagi kita. Pertama, soal pola kepemimpinan dalam kesultanan yang memiliki tradisi Islam begitu kokoh. Dan kedua, tentu saja, menyangkut sosok pemimpin negeri yang amanah. Berabad-abad yang lalu, kalangan gusti di Kesultanan Butuni telah membenamkan diri dalam zona kesuciaan dengan penuh keikhlasan dan keridhaan. Sebenarnya, saat itu mereka tengah menikmati banyak kemuliaan laksana Nabi Allah Sulaiman as. Namun, ketika pesan kebangkitan atau pencerahan diri tiba, mereka pun menyambutnya dengan gegap-gempita. Mereka bukan hanya menikmati kenyamanan Islam sebagai kendaraan untuk menapaki jalan lurus. Tapi, mereka justru makin melarutkan diri dengan kedalaman ajaran Islam itu sendiri, untuk menjangkau surga yang sebenar-benarnya. Surga di dunia dan akhirat. Amati kembali bagaimana pribadi-pribadi yang diperlihatkan oleh para Sultan Butuni. Perhatikan juga bagaimana ia dilahirkan dan ditempa oleh sekelilingnya. Para Sultan Butuni adalah produk masyarakat adat yang terkondisikan untuk senantiasa bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan berserah diri, kepada Yang Maharaja. Sehingga, sangatlah wajar istiqomah batiniah secara massal itu membentuk pribadi-pribadi nan mempersona. Yakni, para pemimpin yang bersiaga mengemban amanah, mencurahkan kemuliaan, dan menghindangkan surga bagi rakyatnya.
Kisah para Sultan Butuni tidak ubahnya kisah bunga hias nan indah, tapi membenamkan diri di antara rerumputan liar. Padahal, ia berada di vas bunga besar dan indah dan diletakkan di rumah kaca. Tapi, ia ikhlas menghantarkan kemuliaan derajatnya untuk menyatu dengan tanaman lain. Bahkan, rerumputan. Dan, dengan tangan mulianya itulah, ia tebarkan kemuliaan bagi tanaman lain. Sehingga mereka pun sama-sama berada di taman luas nan indah.
Para Sultan Butuni merupakan bunga inspirasi pemimpin negeri yang senantiasa berserah diri kepada Yang Maharaja. Karena, ia mengemban amanah itu kemuliaan dirinya dan juga rakyatnya. Serta menjadikan Kesultanan Butuni sebagai surga bagi warga Pulau Pulau Buton. Dan, yakinilah bahwa pada hakekatnya setiap dari kita pun mengemban amanah laksana Sultan Butuni. Namun, adakah kesabaran untuk menantikan masa itu, serta kesiapan untuk menebarkan kemuliaan untuk sekeliling kita? Masa itu pastinya akan datang. Entah di ruang yang mana.
Yang pasti, bila di hati kita masih ada kejengkelan akan nasib yang belum pasti atau berbagai belenggu persoalan lainnya, maka segera saja membasuh wajah dengan air wudhu. Lalu, dirikan shalat sunnah dan fardhu, serta berzikir selepas-lepasnya. Kita coba tauladani setangkai rumput yang rajin membasuh daun-daunnya dengan embun pagi seraya mengalunkan pujian buatNya. Di hadapan Yang Mahahidup, kita bisa berserah diri sambil mengungkapkan kegalauan hati dengan sepuas-puasnya.
Dia ada, karena itu Dia hadirkan nama Baginda Rasullah Muhammad saw di langit ketujuh, sehingga Nabi Allah Adam as menyaksikannya. Bahkan, beliau berdoa atas nama makhluk ciptaanNya yang tersempurna dan terkasih itu.
Dia ada, karena itu Dia sediakan alam semesta dan isinya, untuk menampung harmoni kehidupan makhluk-makhluknya. Bahkan, Dia pun menebarkan kemuliaan nama-nama agungNya, agar dijadikan selimut bagi makhlukNya yang paling sempurna.
Dia berkuasa, karena itu Dia juga merancang dan mengatur alur kehidupan makhluk-makhlukNya dengan begitu sempurna. Hidup-mati, kaya-miskin, suka-duka, berhasil-gagal, adalah bukti-bukti kecintaan kepada makhluk-makhlukNya. Sehingga, Dia merasakan sentuhan bersabar, bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan bertaslim, dari makhluk-makhlukNya. Agar mereka benar-benar mampu meraih cintaNya nan tiada tara.

0 komentar: